
Difteri adalah infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan. Meski tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya ditandai oleh munculnya selaput abu-abu yang melapisi tenggorokan dan amandel.
Penyebab dan Faktor Risiko Difteri
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang. Seseorang bisa tertular difteri bila tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan penderita saat batuk atau bersin.
Penularan juga bisa terjadi jika menyentuh benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti gelas atau sendok.
Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, risiko terserang difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap. Selain itu, difteri juga lebih berisiko terjadi pada orang yang:
- Tinggal di area padat penduduk atau buruk kebersihannya
- Bepergian ke wilayah yang sedang terjadi wabah difteri
- Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya karena menderita AIDS
Gejala Difteri
Gejala difteri muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi. Meskipun demikian, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala. Apabila muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita.
Selain lapisan abu-abu di tenggorokan, gejala lain yang dapat muncul meliputi:
- Sakit tenggorokan
- Suara serak
- Batuk
- Pilek
- Demam
- Menggigil
- Lemas
- Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening
Pengobatan Difteri
Difteri tergolong penyakit serius dan harus diatasi sesegera mungkin. Menurut data statistik, 1 dari 10 pasien difteri meninggal dunia meski telah mendapat pengobatan.
Difteri bisa dicegah melalui imunisasi. Di Indonesia, pemberian vaksin difteri dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus, atau disebut juga dengan imunisasi DPT.